Secangkir Kopi Cherry
Tidak ada yang berbeda dengan kopi yang aku minum hari ini, masih terasa pahit. Aku teguk dan masih terasa getir. Aku mengecap kegetiran itu, terasa kepahitannya menyelimuti langit-langit mulutku. Beradu dengan lidah seakan semua mendukungku untuk merasakan kegetiran dengan sempurna. Aku duduk di atas balkon kamar memandang hujan, tapi itu tak memberi kesan sama sekali. Hatiku tetap bergelora mengingat segalanya. Tegukan kedua, kali ini bibirku terasa pahit, mereka semua menempel dengan bekas yang jelas. Tapi yang lalu tidak langsung hilang dengan bekas yang baru. Ya bekas kopi pahit. Tidak ada inti minuman yang lebih dalam dari segelas kopi. Kau dan kopi ini sama saja, saat aku butuh maka kau selalu menggelorakanku. Terasa pahit untuk orang lain namun untukku tidak. Hari ini aku minum ssecangkir kopi dan hatiku yang terasa getir, mulutku terasa sangat pahit dan air mataku terasa ingin menetes menjamah setiap inchi pipiku. Ya, mulus tak ada halangan apapun. Nasib bahkan tidak menghalangi air mataku keluar dengan indahnya. Tegukan ketiga mulai tak berasa, hambar. Ini lebih baik. Setidaknya aku tidak harus merasakan apapun dan menurutku itu lebih baik. Tak memiliki rasa lebih baik. Biasanya aku meminum segelas kopi dengan rasa manis. Jangan salah sangka, bukan dengan gula rasa manisnya datang. Jika orang-orang beranggapan rasa nikmat dan kebahagiaan bisa didapatkan dari kopi dan sedikit gula tapi aku tidak menyukainya dan tubuhku tidak menginginkannya. Aku hanya meletakaan sebuah permen manis rasa cherry di bawah lidahku dan meminum kopi pahit. Menurutku begitu aku bisa emnikmati segalanya. Menikmati rasa kopi yang pahit dan sekaligus melumat kemanisan permen cherry kesukaanku. Mereka berdua menurutku menjadi kesatuan yang utuh saat permen mulai menjadi lumat secara perlahan dengan rasa kopi yang kuat. Mereka berdua dimulutku terasa mesra dan indah sampai aku menelannya. Ya sampai tidak beasa apa-apa lagi dan hanya meninggalkan permen cherry yang terkikis. Orang-orang menganggapku aneh. Kenapa aku harus aneh. Aku hanya menyukai kopi dan permen cherry. Mereka tetap menganggapku gila dan jorok. Mereka mengganggapku tidak sama. Ya, berbeda. Kata yang sederhana namun menyakitkan. Apakah semua kenikmatan harus dirasakan dengan persamaan. Perbedaan menurut mereka adalah kata-kata yang harus dimusnahkan. Berbeda berarti harus dibunuh dicaci dan dimaki. Seperti dewan temanku yang mengataiku gila, dia mengataiku terus menerus saat duduk dan menikmati kopi. Katanya aku gila melakukan hal tersebut. Sambil terus mwngataiku dan tertawa terbahak bahak dia terus menyendok ampas kopi dan memakan ampasnya. Tawanya menjadi hitam, gelap seperti hinaannya padaku. Dia terus memakan ampasnya sampai tak bersisa. Aku hanya melihatnya saja menikmati itu. Dia seakan melumatnya dengan hati, sampai ampas yang di sela-sela gigi dia lumat tak bersisa dan tak membekas. Akhirnya dia puas, tapi kepuasannya tak berhenti sampai situ. Dia tetap menghinaku.
Saatmemutuskan untuk beranjak, amal temanku perempuan dia menyuruhku untuk tidak memakai pakaian-pakaian tipis seperti itu karena diluar panas. Aku pikir memang diluar panas itu sebabnya aku memakai pakaian tipis. Yang menjadi masalah adalah dia tidak sama pemikirannya denganku. Diluar panas, awas hitam dan pakai pakaian tebsl tertutup. Apa yang salah dari hitam, kopi hitam dan panas, dia menikmatinya sampai dua gelas. Amal menikmati kopi di musim panas dua gelas katanya dia sudah tidak bisa menikmati secangkit kopi saja itu kenikmatan yang terlalu kecil dan tidak sebanding dengan menunggu proses pembuatannya yang lama. Dia harus memesan dua kenimatan kopi. Cangkir pertama dia meminumnya dengan perlahan dan ciuman antara lekuk bibirnya bertemu kopi didalam cangkir sangat indah. Seperti dia tak menemulan minuman itu berbulan-bulan. Namun sayang setelah cangkir kedua dia dengan brutal menghabiskan kopi yang dia pesan. Bahkan dia sering mengumur kopi didalam mulutnya. Amal selalu menanyaiku sejak kapan kebiasaan buruk memasukkan permen kecil dengan kopi secara bersamaan. Tapi aku tak pernah menjawabnya. Dia terus mengulang pertanyaan itu sampai pernah dia mengintaiku seberapa sering aku melakukan kebiasaan itu. Baginya kebiasaanku sangatlah tidak pantas dan aneh. Menurutnya aku tidak akan pernah bahagia karena meminum kopi seperti itu. Menurutnya aku menyedihkan.
Suatu saat aku memutuskan untuk nongkrong dikedai kopi sendiri karena tidak ingin orang yang mengenalku melihatku minum kopi, hari ini otakku dipenuhi dengan ocehan-ocehan yang mengganjal menjadi muntahan dan siap aku muntahkan di depan semua orang. Hari itu kedai begitu ramai seorang perempuan tiba-tiba menanyaiku dan ingin duduk didepanku karena tidak ada tempat lagi, dengan mudah aku mengiyakannya. Aku berharap tidak mengenalnya dan tidak berbicara dengannya namun yang terjadi sebaliknya. Perempuan berambut sedagu menanyaiku lalu aku menjawabnya singkat. Kopi kita datang bersamaan dan dengan racikan yang sama aku hampir tidak berani memungut cangkirku karena takut salah kalau-kalau itu semua pesanannya, seperti temanku yang emmesan dua cangkir kopi sekaligus. Dia tersenyum dan memandangku menggeser satu cangkir lebih dekat denganku. Aku emmbalas senyumnya dan berterima kasih. Dia menyeruput kopinya, lalu tanya namaku. Aku menjawab, dan menyeruput kopi didepanku. Dia meminum tegukan kedua dan menanyaiku lagi kali ini pertanyaan agak panjang. Aku menjawab pendek dan tidak antusias lalu tegukan yang kedua aku biarkan menjamah tenggoranku. Aku mencari-cari permen di dalam tasku dan sial aku tak menemukannya. Dia meneguk kembali kopinya kali ini tegukan ketiga dan bertanya aku sedang mencari apa. Aku menjawab kesal dan singkat, lalu meneguk kopiku ya, sama dengan dia tegukan ketiga. dia memberikan aku permen cherry. Aku melihatnya dan menerima permen dari tangannya. Ada dua permen namun aku mengambilnya satu. Aku membuka permen cherry, dia juga membuka permen cherry miliknya. Dia memakannya duluan dalu menyeruput kopinya. Tegukan keempat dia dan aku. Aku memandanginya dan bertanya apa yang dia lakukan tadi. Sama-sama kami meminum kopi kita masing-masing kami meminum kopi sambil ngobrol dan sedikit tawa. Kita sama, dan menyenangkan mendemgar hal itu. Kita membicarakan diri sendiri tidak peduli orang lain. Kebahagiaan diri sendiri yang tidak ada ikut campur orang lain, dunia sendiri yang tidak ada nama orang lain. Sejak saat itu aku berbicara dengan tawa. Sampai-sampai kami lupa dengan urusan lain dan memesan secangkir kopi pahit lagi. Kali ini kita berbincang dan lupa tidak memakan permen cherry sebelum meminum kopi. Kita hanya sama-sama menyeruput kopi dalam naungan kebahagiaan lain tanpa permen cherry. Saat itu sampai semuanya usai. Sampai dia pergi. Permepuan itu, teman baruku pergi.
Sebenarnya akulah yang pergi, dia tetap ditempat. Aku pergi menjauh karena memutuskan untuk tidak menjadi diriku. Terlalu banyak cacian. Aku hari ini duduk memandang hujan menikmati kopi seperti orang lain. Kopi pahit tanpa permen cherry. Aku menangis sejadi-jadinya menutupi mukaku dan kopi masih terasa sangat menyesakkan didada. Orang lain di ruang tamu ayahku, ibuku serta calon suami untukku, mereka menikmati kopi yang sama denganku. Mereka meneguknya lalu tertawa bersama-sama. Aku meneguknya dan masih terasa pahit masih terasa getir. Aku ingin permen cherryku aku ingin diriku kembali.
Baca review: KIMI NO NA WA
Baca review: KIMI NO NA WA