Cerita

Mereka tidak tahu rasanya jika berjalan seorang diri. Ya, mereka akan tahu kalau posisiku sekarang tiba-tiba berbalik ke mereka. Terkadang tuntutan-tuntutan itu begitu menekan sampai rasanya sesak nafas. Mereka tidak membiarkan aku hidup dengan tenang, saat aku sekali bernafas lega sedikit saja tiba-tiba seakan mereka tahu dan tidak terima kalau aku akan hidup bahagia. Mereka menyuruhku memenuhi keinginan-keinginannya. Ketahuilah aku bukan manusia setengah dewa. Aku hanya manusia. Setiap detik jika mereka semua tahu, aku bisa menangis selama berjam-jam dan yang paling parah itu terjadi berulang-ulang selama beberapa hari. Asal mereka tahu aku ketakutan setengah mati memikirkan itu. Ya, perasaan.
Entah sejak kapan aku sering menangis sendiri, didalam tangisan yang tidak kuketahui sebabnya itu seperti merasa ada yang berbicara bahwa tubuhku dipinjam oleh seseorang untuk menangis. Aku harus mengalah dan meminjamkan tubuhku pada jiwa yang lain. Kadang aku merasa berbicara pada jiwa yang meminjam tubuhku. Apakah yang terjadi. Sedikit perlahan aku mulai menemukan titik terang hanya saja terlalu sulit untuk mengetahuinya secara pasti karena titik itu begitu kecil. Jiwa yang meminjam tubuhku berbicara dengan diriku sendiri bahwa dia kebingungan, kesepian, di ruang kosong menginginkan sesuatu, tapi sulit untuk mengatakan apa itu. Lalu jiwa itu terkadang lelah dan membiakan diriku untuk menguasai tubuhku kembali.
Pertama kali aku tahu menginginkan apa untuk jalanku, itu membuatku takut.


Sekarang sudah jam 24:00 dan aku melamun di sebuah resto cepat saji sendiri. Aku duduk di luar melihat beberapa mobil dan sepeda motor melintas. Lalu aku memalingkan pandangan ke kaca sebelahku. Aku melihat diriku dipantulan kacanya, menyedihkan. Aku benar-benar tidak membiarkan diriku sendiri bahagia. Sedikit aku melihat pantulan kaca, dibelakangku terdapat remaja bersenda gurau. Aku melihat mereka di pantulan kaca itu, seakan mereka mengejekku karena kesendirianku. Tertawanya lepas seperti mencibirku. Ada seorang anak remaja yang bahkan menoleh ke arahku, mungkin karena mereka tahu aku mengawasi dari pantulan kaca. Aku melihat pantulan wajahku kembali di kaca dan menggeser meja dan kursiku menempel kaca. Wajahku mendekat perlahan ke kaca yang gelap karena dipasang film. Yang dipikiranku detik itu adalah aku ingin berkenalan lebih jauh dengan bayanganku sendiri dan bertanya mengapa sisi lain hidupnya begitu menyedihkan. Aku membuat wajahku hampir menyentuh kaca dan aku ingin bicara pada bayanganku kenapa aku begini, kenapa aku tidak benar-benar menginginkan hubungan. Aku menyukai beberapa orang tetapi saat akan menjalinnya itu terasa sulit. Rasanya seperti aku sudah mendapatkan apa yang aku sukai namun saat sesuatu itu sudah berada didekatku bahkan di genggamanku, aku malah menganggapnya sebuah sampah dan harus dibuang jauh-jauh. Dan harusnya saat aku sudah membuangnya jauh maka hidupku bisa lebih bahagia. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, aku merasa lebih frustasi karena hal itu bukan yang aku mau. Aku tidak tahu apa yang membuatku bahagia. Semua terasa sampah!. Aku menangis memandang diriku sendiri di kaca. Aku merasa tidak bahagia.

---------------------------------

Sekarang sudah pukul 24:00 dan aku harus makan di resto cepat saji karena hanya tempat itu yang mudah kujangkau dari tempat kerja. Seharusnya aku sudah lari dari dulu karena bekerja di kantor hanya membuatku semakin buruk. Harusnya aku memilih pilihan yang lain. Didalam ruangan resto hanya ada orang-orang yang kelaparan dan kelelahan pulang kerja, tapi anehnya mereka masih membicarakan pekerjaan di tempat seperti ini. Seharusnya mereka hanya makan dan ngobrol santai saja. Terlalu serius di tempat seperti ini hanya akan membebani mereka lebih parah. Aku memperhatikan pemandangan di seberang kaca. Perempuan dengan lamunannya. Dia sendirian dan terlihat persis didepanku bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Itu sudah terbaca dari raut wajahnya. Apa dia menatapku? Seperti dia sedang melihatku, tepat melihat mataku. Dia seperti memandangku dengan dalam. Matanya menatapku tanpa ragu, matanya terlihat sayu dibalik kaca gelap itu. Dia berhasil membuatku melupakan makananku dan terus menatapnya. Aku semakin memperhatikan setiap detail rautnya, aku tahu dia sedang tidak bahagia. Dan dia meneteskan air mata.. tidak lama dia pergi begitu saja.

------------------------

Hari-hariku sebenarnya sangat membahagiakan sampai saat semua itu terlewati. Setelahnya, hanya ada mata yang kosong, menerawang, diam, dan hening. Hening itu menurutku yang paling berbahaya karena saat keheningan sudah menghampiriku seperti air yang terkena bajuku maka keheningan dengan sifat yang seperti air akan mudah merembes kesetiap helai kain ditubuhku dan menjadikanku basah akan ketakutan. Saat aku bertemu dengan orang lain yang sekilas lalu saja maka itu akan membuatku baik-baik saja. 
Tapi saat aku sudah memasuki ruang gelap di otakku maka mulailah rasa sakit itu muncul, terutama dalam hati. Setelah pekerjaan yang cukup melelahkan seperti biasa malam jam 22:00 aku ke resto cepat saji dan memesan menu yang berbeda dari kemarin malam. Aku duduk di tempat sama seperti biasa. Sudut kosong yang sama seperti mengatahkan bahwa dia siap untuk memanggil jiwa yang bergelayut dengan kehampaan. Dalam hati aku meringis menatap bangku kosong itu. Aneh rasanya saat orang-orang tidak memilih duduk disitu, mungkin mereka tahu disitu untuk orang menyedihkan seperti aku. Perlahan aku memakan pesananku. Tidak terlalu banyak yang aku pikirkan daripada malam kemarin, mungkin karena hari ini aku tidak berhadapan dengan orang tuaku yang selalu menuntut anaknya bahagia namun dengan cara mereka. Telepon genggamku berbunyi, tertera nama dewa
"Hallo" ucapku lirih tak bersemangat.
"Kamu dimana?"
"Aku sudah pulang". Aku tak ingin benar-benar menjawab pertanyaannya. Dan aku tak penasaran kenapa dia menelponku atau dia dimana bahkan bagaimana kondisinya saat aku tinggal kabur dengan segudang pekerjaan yang menumpuk dikantor tadi.
"Terima kasih kamu peduli dengan kondisimu sendiri. Aku bersyukur kamu peduli dengan dirimu. Tp bagaimana aku, disini masih sangat banyak yang harus aku selesaikan."
Aku menyandarkan kepalaku pada kaca sebelahku dan tetap mendengarkan dewa berbicara.

Postingan populer dari blog ini

My Life As A Zucchini

Secangkir Kopi Cherry

Kimi No Na Wa