HUBUNGAN PERIBAHASA JAWA DENGAN STEREOTIP YANG MELEKAT PADA MASYARAKATNYA


-->
Pendahuluan
Peribahasa merupakan ayat atau kelompok kata yang mempunyai susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu (wikipedia Indonesia), setiap negara mempunyai peribahasa yang berbeda-beda. Khusus di Indonesia setiap wilayah bahkan pada masing-masing sukunya mempunyai peribahasa masing-masing dan semuanya memiliki ciri khas masing-masing. Seperti pada masyarakat Jawa yang mempunyai peribahasa yang menunjukkan kekhasan atau ciri khas orang Jawa itu sendiri, peribahasa menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah ungkapan atau kalimat ringkas, padat dan berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku. Namun dalam masyarakat Jawa peribahasa biasanya juga disebut dengan peribasan, bebasan, sanepan, maupun saloka. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai peribahasa yang dimiliki masyarakat Jawa yang ternyata berhubungan erat dengan stereotip yang melekat pada masyarakatnya. Membicarakan seterotip yang melekat pada suku-suku khususnya di Indonesia maka akan banyak dijumpai perbedaan yang menonjol pada suku satu dengan yang lain seperti pada bagian Timur Indonesia yang cenderung mempunyai stereotip bicara atau logat bicaranya agak keras, berbeda dengan masyarakat Indonesia di bagian tengah dan barat yang mempunyai logat bicara lembut. Stereotip itu melekat dalam setiap benak masyarakat Indonesia. Suku Jawa dalam hal ini lebih spesifiknya adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memakai bahasa Jawa mempunyai stereotip yang hampir sama secara umum karena merupakan daerah yang kejawen.
Stereotip suku Jawa salah satunya adalah kesabaran, maka orang “Jawa” itu haruslah sabar. Karena stereotip itu yang terbentuk dalam masyarakat Indonesia khususnya orang Jawa sendiri. Hal itu secara tersirat ada terlihat dalam peribahasanya, maka saya akan membahasnya lebih lanjut.
Peribahasa Jawa dan stereotip pada masyarakat Jawa
Koentjaraningrat (2002:347) menyebutkan bahwa kebanyakan orang Jawa percaya hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka bersikap nerima, yaitu menyerahkan diri terhadap takdir. Hal ini membuktikan bahwa orang Jawa mempunyai stereotip ‘sabar’ atau ‘kehati-hatian’ dalam hidupnya.
Sabar sareh mesti bakal pikolen
Artinya adalah setiap bertindak jangan tergesa-gesa.
Sluman-slumun slamet
Artinya adalah jika kurang hati-hati, tapi masih diberi keselamatan.
Yitna yuwana mati lena
Artinya orang baik mendapat celaka karena kurang kehati-hatiannya.
Alon-alon asal kelakon
Artinya pelan-pelan asal selamat
Jika di analisis lebih lanjut peribahasa tersebut menujukkan keperibadian orang Jawa yang cenderung mementingkan kesabaran dan kehati-hatian dalam bertindak.
Orang Jawa juga sangat mementingkan sopan santun atau tingkah laku dalam tindakannya khususnya terhadap orang yang lebih tua. Dalam bahasa Jawa disebut unggah-ungguh, tindak-tanduk tersebut penting dalam menjaga sistem kemasyarakatan dan sosial orang Jawa. Itu terbukti dari adanya klasifikasi bahasa yang di gunakan masyarakat Jawa seperti bahasa ngoko, madya dan krama inggil. Namun, terdapat pula bukti pada peribahasanya yang banyak menekankan tata krama dalam kehidupannya.
Asu belang kalung wang
Artinya orang yang tindakannya buruk dan keperibadiannya buruk tapi kaya. Dalam peribahasa itu disebutkan asu atau anjing dalam bahasa Indonesia yang diibaratkan adalah orang yang asor atau orang yang buruk sifatnya.
Aji godhong garing
Artinya adalah jelek sekali perilakunya, atau tidak ada nilainya sama sekali.
Bathok bolu isi madu
Artinya adalah orang yang jelek sifatnya tapi pintar.
Blaba wuda
Artinnya saking dermawannya sampai-sampai dirinya tidak kebagian.
Cedhak celeng boloten atau cedhak kebo gupak
Artinya dekat orang jelek perilakunya ketularan jelek juga.
Cuplak andheng-andheng, yen ora pernah panggonane bakal disingkirake
Artinya orang yang mencari kejelekan maka akan disingkirkan.
Dalam peribahasa diatas, perilaku orang jelek diibaratkan dengan hewan yang dianggap orang buruk. Seperti asu, celeng, dan kebo (anjing, babi, dan kerbau). Orang Jawa sangat menjunjung tinggi tingkah laku yang baik dalam berkehidupan secara bersamaan. Menurut Koentjaraningrat (2002:329) pada waktu mengucapkan bahasa Jawa seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak bicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Itu menunjukkan bahwa orang Jawa mementingkan segala aspek kesopanan meskipun dalam hal berbicara.
pada masyarakat Jawa yang mengenal sikap nrima tersebut dipengaruhi oleh unsur religi, pada agama yang kebanyakan adalah orang islam yang bersikap kejawen unsur itu sangat kental. Dari rangkaian peribahasa diatas digambarkan stereotip yang melekat pada orang Jawa juga tercermin dari peribahasanya yang menunjukkan bahwa orang Jawa adalah orang yang sabar, hati-hati dalam bertindak, mengedepankan sikap yang sopan-santun atau tindakan baik. Dan masyarakat Jawa lebih mementingkan sikap atau tata krama. Itulah yang menonjol dari masyarakat Jawa jika dilihat dari peribahasanya.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2002. manusia dan kebudayaan di Indonesia.Jakarta: Djambatan.
www.wikipedia.org (diakses tanggal 14 juni 2011, pukul 20.33)

Postingan populer dari blog ini

My Life As A Zucchini

Secangkir Kopi Cherry

Kimi No Na Wa