PERMASALAHAN KESENIAN RAKYAT DIPANDANG DARI SEGI KEMASYARAKATAN (RANDAI, NGESTI PANDOWO, WAYANG)


-->
Saat ini banyak problema yang dihadapi pada persoalan kesenian, khususnya dipandang dari segi kemasyarakatan. Seperti kesenian Randai, Ngesti Pandowo, dan wayang adalah bentuk-bentuk kesenian rakyat yang mempunyai permasalahannya sendiri-sendiri. Pembuatan Artikel ini bertujuan untuk untuk mengetahui problema yang dihadapi pada persoalan kesenian, serta untuk mengetahui contoh kesenian beserta permasalahannya dan untuk menentukan serta mengetahui sikap serta upaya yang harus diambil untuk menangani problema kesenian.


-->
Kesenian merupakan wujud kebudayaan. Dan kesenian dapat juga ditinjau dalam konteks kebudayaan ataupun kemasyarakatan. Dalam prespektif kemasyarakatan, ternyata suatu kesenian tertentu ada pendukungnya tertentu. Namun dalam perkembangan kehidupan masyarakat, perubahan struktur sosial dan tata nilai akan berhubungan dengan masalah bentuk kesenian dengan masyarakatnya.
Oleh sebab itu, bagaimana upaya agar dalam perubahan dan perkembangan tersebut bentuk kesenian tidak hilang dan berganti dengan yang baru.

-->
Pada dinamika kesenian pun mempengaruhi setiap perubahan fungsi dan perubahan bentuk pada setiap hasil seni yang sudah ada. dalam suatu masyarakat, biasanya. ada golongan-golongan yang mempunyai kekuatan, ekonomis ataupun politis atau keduanya, lebih dari pada golongan-golongan lain. Golongan yang “kuat” atau dalam arti lain lebih bisa mempengaruhi golongan yang lain karena golongan tersebut mampu membina kegiatan-kegiatan kesenian. Bentuk-bentuk ekspresi seni yang paling banyak memiliki dukungan dana pada umumnya cenderung untuk lebih lekas populer, atau barangkali harus dikatakan sebaliknya, bahwa seni populer, yaitu seni yang cepat merangsang, lebih mudah menghibur dan untuk itu lebih suka bersegera membuang dananya. Dengan ini, sebenarnya kita sampai pada kebutuhan untuk membedakan dua macam sumber dana dan prasarana kesenian, yaitu pertama dana yang dikeluarkan atas dasar kebutuhan akan hiburan yang menyenangkan, dan kedua dana yang dukeluarkan atas dasar tujuan untuk membina nilai seni. Walaupun sering batas antara keduanya memang kabur. Masyarakat modern, sekarang ini cenderung menginginkan bentuk kesenian yang dianggapnya modern pula, yang cenderung mempunyai nilai yang dianggap tinggi atau diminati oleh pendukung yang banyak dan pendukung kesenian modern itu memiliki kelas dimata orang banyak atau pendukungnya sehingga dapat menarik perhatian orang lain yang ingin ikut menjadi bagian dari modernitas dan melupakan semua asal atau identitas yang mereka miliki. Sehingga ciri yang membedakan setiap masyarakat cenderung kabur dan lama-kelamaan akan tenggelam. Keanekaragaman corak dan pandangan mengenai kesenian di indonesia seperti Randai, Ngesti Pandowo, serta Wayang ini akan dibahas. Beserta permasalahannya dan yang harus dilakukan untuk menangani problema kesenian yang dilihat dari prespektif masyarakatnya tersebut.

-->
Beberapa contoh beserta permasalahannya serta fungsi dan peranan kesenian rakyat dilihat dari prespektif masyarakatnya.
Randai, bentuk kesenian tradisional Minangkabau yang penting, digemari, dan sampai sekarang memiliki pendukung yang cukup banyak sebagai bentuk teater rakyat, Randai memang hidup ditengah-tengah rakyat, dimainkan oleh kalangan rakyat. Permasalahan atau problem kesenian Randai sebagai bentuk kesenian tradisional yaitu datangnya perubahan sosial dan tata nilai. Sejak awal abad ke-20 setelah perkenalan dengan kebudayaan barat maka suatu perubahan sosial dan tata nilai kehidupan masyarakat menjadi suatu yang mau tak mau harus diterima. Juga akibat kemajuan teknologi dan kemajuan yang dicapai dalam bidang komunikasi (massa). Ikatan sosial mulai longgar dan kesetiaan terhadap tradisi mulai memudar. Keadaan ini akan juga dialami oleh bentuk teater rakyat Minangkabau yaitu Randai. Secara tidak terelakkan pula bentuk kesenian ini akan menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan. Jika kesenian ini tidak mengikuti perkembangan yang ada, maka eksistensi bentuk kesenian ini akan terancam punah. Bentuk kesenian ini akan hilang karena masyarakat yang sedang berubah merasa tidak lagi memerlukannya. Namun, Randai sekarang ini semakin dinamis dan mengalami modernisasi dan kini posisi Randai di Minang sudah mengalami posmodernisme dan dengan begitu seni tradisi Randai dapat bertahan dengan caranya sendiri. Randai memang harus dipertahankan karena dalam Randai terdapat pesan-pesan yang penting seperti menceritakan hikayat dengan pesan-pesan yang mendalam. Seperti, Salah satu cerita randai berjudul ”Bujang Salamaik” yang cukup populer di Sumatera Barat, telah ada beberapa kutipan pantun yang menyiratkan pesan-pesan untuk menjaga kelestarian hutan dan waspada terhadap bencana alam, yakni:
Hari pagi paneh manyentak
Takambang lapiak panjamuran

Urek putuih batang baroyak
Pucuak manangguak pasakitan
Pada bait pantun tersebut, tersimpan makna/pesan yang sangat dalam. Hari pagi paneh manyentak (Hari pagi panas menyentak), bermakna pada masa awal kedatangan nenek moyang. Takambang lapiak panjamuran (Terbentang tikar penjemuran), bermakna terbentang hutan yang masih asri. Urek putuih batang baroyak (Akar putus batang bergoyang),bermakna kini hutan itu telah ditebangi pohonnya secara besar-besaran. Pucuak manangguak pasakitan (Pucuk menanggung kesakitan), bermakna anak cucu yang akan menanggung penderitaan. Pesan lainnya Elok malantai sabalum luluih (baiknya melantai sebelum roboh)
Rancak maminteh sabalum hayuik (bagusnya memintas sebelum hanyut)
Nagari kito rawan bancano (negeri kita rawan bencana)
Siapkan diri satiok maso (siapkan diri setiap masa)
Saat masyarakat sudah dijejali dengan visualisasi yang dengan cepat dapat menyampaikan informasi serta lebih cocok dengan era kehidupan sekarang dan kebutuhan mayarakat modern maka perlahan randai akan tergusur dan tidak kuat lagi mengakar pada kehidupan masyarakat yang mulai mengalami modernisasi sekarang ini.
Ngesti Pandowo, adalah bentuk teater yang dikemas sebagai suatu komoditi komersial buat suatu khalayak kota. Seni yang selalu akan berusaha untuk bisa tampil apik, inovatif, spektakuler, gemerlapan. Wayang orang komersial adalah suatu pertunjukan yang unik. Bahan-bahan kemasannya dari teater klasik serta dari penghayatan yang unik dari orang jawa terhadap epos Mahabarata dan Ramayana. Ngesti Pandowo di bawah pimpinan almarhum Sastrosabdo adalah teater kitsch yang benar-benar inovatif dan gemerlapan.

Sebagai Petruk, sutradara, serta pimpinan produksi Sastrosabdo adalah tokoh yang sulit ditandingi. Sebagai petruk dia adalah versi yang lebih modern dari Sastrodirun, pendahulunya, Petruk legendaris dari sriwedari di solo. Satire sosialnya lebih menggigit tetapi tidak nylekit, dagelannya segar serta kompak dengan anggota puankawan yang lainnya. Persoalan atau problema Ngesti Pandowo yaitu dimulai dari meninggalnya Sastrosabdo yang berperan sebagai petruk yang tidak tergantikan dan perannya sebagai Sutradara dan pemimpin produksi. Bahkan sebagai Bapak Ngesti Pandowo. Sejak kepergiannya, secara bertahap tetapi pasti wayang orang ini kehilangan glamour. Yang kedua kepergian Nartosabdo pemimpin karawitan Ngesti Pandowo yang sangat kreatif itu. gejala ketiga yang amat penting, yakni perkembangan kota-kota Jawa beserta penghuninya yang semakin Urban. Komersialisasi dan birokasi ada dimana-mana. Sangat berbahaya jika kapitalisme Global saat ini mempengaruhi budaya Indonesia menyebabkan tidak ada lagi rasa kepercayaan budaya yang tinggi yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Bahkan banyak yang tidak mengenal Ngesti Pandowo, dan mengabaikan keberadaannya padahal Ngesti Pandowo adalah seni yang berasal dari masyarakrat sendiri dan budaya asli lokal yang seharusnya mendapat tempat dihati masyarakat Indonesia, karena yang menciptakan adalah masyarakat Indonesia dan seharusnya masyarakat menghargai apa yang telah di ciptakannya dan diwariskan. Karena jika Ngesti Pandowo sudah tidak lagi mendapat tempat di hati masyarakat indonesia maka dengan begitu masyarakat Indonesia mengakui bahwa budaya Indonesia itu tidak mendapatkan fungsi dan peranannya di mata masyarakat Indonesia. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi jika setelah di terpa krisis Ngesti Pandowo kehilangan regenerasi untuk memainkan wayang orang itu dan tidak mengerti tentang seni tersebut. Krisis seperti itu hendaknya bisa di antisipasi meskipun tidak mudah dan tidak cepat. Butuh waktu dan pendukung yang bisa mendukung secara finansial maupun mendukung agar cepat dikenal, menjadi populer, menjadi berkelas sehingga mendapat tempat di hati masyarakat yang sekarang ini sudah mencoba mengalami modernisasi, Dan terkena arus globalisasi. Karena saat ini dapat diketahui bahwa masyarakat berada dalam dua kultur yang berbeda yaitu disisi lain mencoba melangkah ke gaya hidup modern dan mengikuti arus global, sedangkan di lain pihak masih berpijak pada sisi gaya hidup tradisional. itu menyebabkan kesenian rakyat Ngesti Pandowo yang sudah tidak lagi mendapatkan fungsi dan peranannya di dalam kehidupan masyarakat akan digeser dengan seni yang lain yang dianggap lebih mewakili kehidupan masyarakat saat ini. Namun dilain pihak, ngesti pandowo yang sudah tidak begitu diperlukan lagi perannya sebagai hiburan rakyat masih tetap dipertahankan. Itulah sebabnya masyarakat Indonesia masih mengalami masa kelabilan, belum bisa menentukan sikap apa yang harus dilakukannya. Karena terkadang masyarakat hanya menonton Ngesti Pandowo namun hanya sekedar untuk mempertahankan keberadaannya saja namun tidak ada fungsi dan peranan di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti dalam pertunjukan Ngesti Pandowo di Kompleks Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang. Tanggal 12 januari 2009, kata Cicuk Sastrosoedirdjo (52), pimpinan grup Wayang Orang Ngesti Pandowo "Kami memang tidak pernah latihan lagi, tetapi langsung tampil. Latihan hanya membuat biaya operasional kami membengkak," Cicuk sebenarnya prihatin dengan kondisi ini. Namun, daripada latihan, dia lebih menekankan pentingnya tampil secara rutin di depan publik agar Ngesti Pandowo tetap bergaung di Semarang. "Kami hanya ingin Ngesti Pandowo tetap eksis," katanya. Bahkan saat tampil membawakan lakon Jagal Abilowo pada Sabtu 10 Januari 2009, hanya dihadiri 40 penonton. Dengan harga tiket Rp 10.000 per penonton, kelompok wayang orang ini hanya menghasilkan Rp 400.000 dan mesti mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp 3.392.000. betapa miris jika kesenian yang berasal dari masyarakat sendiri harus mengalami keterpurukan yang diakibatkan oleh perkembangan jaman yang semakin gemerlap dan modern.
Wayang, ialah bentuk pertunjukan tradisional yang dibawakan oleh seorang dalang yang menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan. Pergelaran wayang mulai dikenal di indonesia sampai sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Sumber pemberitaan tertua mengenai adanya pergelaran wayang adalah kakawin Arjunawiwaha, suatu hasil kesusastraan gubahan Mpu Kanwa, seorang pujangga kraton pada masa pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur pada abad XI (1019-1042 A.D.). dalam kakawin Arjunawiwaha tersebut kalimat-kalimat yang memberitakan tentang pergelaran wayang kulit berbunyi sebagai berikut:
hanānonton ringgit manangis asěkěl muda hiděpan huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang trěsneng wisaya malaha ta wihikana ri tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman. (Arjunawiwaha, bab V bait 9).
Terjemahannya:
Ada orang yang menonton wayang menangis sedih. Bodoh benar dia. Padahal sudah tahu juga bahwa yang bergerak dan berbicara itu kulit yang ditatah. Memang, kata orang dia sedang terkena daya gaib, sedangkan seharusnya ia tahu bahwa pada hakikatnya (pertunjukan) itu hanyalah palsu, segala yang ada ini maya belaka.
Dari kalimat diatas dapatlah disimpulkan bahwa abad XI itu pertunjukan wayang telah mempesonakan penonton sampai mereka kehilangan keseimbangan emosinya. Pendramaan wayang sangat kuat mengguncangkan hati penonton sehingga mereka menangis sedih, betapa tingginya mutu yang telah dicapai oleh kesenian wayang pada saat itu. kepercayaan religio-magis sangat kental pada masyarakat saat itu. menyebabkan nilai kesakralan amat tinggi dan memudahkan penonton terkena wisaya atau pengaruh ghaib. Berbeda dengan penelitian ilmiah, di kalangan masyarakat tradisi bahwa yang menciptakan wayang, gamelan, dan pakem-pakem pendalangan adalah para wali pada jaman berkembangnya pengaruh islam sekitar abad XV dan XVI di daerah pesisir utara Jawa. Pada saat datangnya islam wayang digunakan untuk media komuniaksi sebagai sarana Dakwah, sumber pengetahuan yang bersifat profan dan merupakan pronotip kursus kilat bagi masyarakat mengenai seluk-beluk kehidupan manusia sehari-hari. Kesadaran masyarakat akan pentingnya wayang sebagai cermin kehidupan ternyata dari kalimat-kalimat yang termuat dalam hasil kesusastraan Jawa Tengah yang beranama Nawaruci.
Aja kaya mengkono ngaurip iki,
Badan iki den kadya wayang kinudang
Aneng panggung nggèné arja tali bayu
Padanging kang panggung damar surya candra. (Prijohoetomo, Nawaruci, hal. 182.).
Terjemahannya:
Orang hidup janganlah seperti itu,
Pandanglah dirimu sebagai wayang yang dimainkan
Di panggung, tali sebagai kekuatan jiwa
Lampu yang menerangi panggung semisal matahari dan bulan.
Demikianlah juga dalam tradisi prgelaran wayang kulit yang masih terus dipertahankan oleh para dalang ialah bahwa menjelang akhir pertunjukan sang dalang menampilkan tarian dengan menggunakan golèk, yaitu boneka kayu berdimensi tiga. Kata golèk juga berarti “mencari”. Dalam hal ini dimaksudkan setelah menonton pertunjukan wayang dari awal sampai akhir mereka nggolèki atau mencari inti pelajaran yang tersirat dalam pertunjukan semalam suntuk yang kiranya bermanfaat bagi kehidupannya.
Problematika yang dihadapi, saat ini Unsur-unsur tradisional yang masih memiliki nilai-nilai budaya yang baik masihkah dapat dipertahankan karena sikap modern yang ekstrem yang bisa merusak jaringan kehidupan sosial budaya masyarakat. Terkadang cerita serta penyajian dari wayang hanya cocok diberikan pada suatu daerah tertentu saja karena bahasa yang sulit dimengerti oleh sebagian daerah lain. Itu menyebabkan wayang tidak bisa berkembang di daerah lain. Wayang merupakan sarana komunikasi seperti randai, dalam wayang juga dapat dimasukkan pesan-pesan kebencanaan dalam suatu cerita melalui dialog antara tokoh-tokoh wayang yang terlibat. Wayang dapat merupakan hiburan yang seringan-ringannya, tetapi juga dapat menjadi bahan pemikiran yang sedalam-dalammya Walaupun demikian, biasanya dalang masih menyesuaikan pergelarannya dengan tingkatan khalayak penonton yang merupakan mayoritas. Di desa-desa pertunjukan wayang tetap merupakan bagian integral dari kehidupan budaya masyarakatnya. Menanggap wayang bagi bersangkut-paut dengan statusnya dalam lingkungan masyarakatnya. Sedangkan di kota-kota sikap semacam itu sudah banyak berkurang. Kemajuan teknoogi modern juga sangat besar peranannya dalam sejarah perkembangan Wayang. Penggunaan alat-alat pengeras suara, alat-alat pemancar radio, televisi, tape recorder, dan piringan hitam, semuanya sengat memperlancar perluasan pergelaran wayang sehingga dapat menjangkau khalayak penggemarnya sampai berlipat ganda. Bagi masyarakat jawa khususnya, alam pewayangan sering dijadikan sandaran atau pedoman sikap dan tingkah laku dan begitu kuat mempengaruhi alam pikirannya sehingga merupakan sistem nilai budaya yang dianutnya, didukung secara beruntun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sikap atau Upaya yang Diambil untuk Menangani Problem Kesenian
Menentukan unsur-usur yang esensial secara struktural bentuk kesenian tersebut. Dan melakukan Perubahan-perubahan bisa dilakukan tapi tidak dengan meniadakan unsur yang esensial tersebut. Sikap kreatif dalam pertunjukan dan harus selalu relevan dan mampu memenuhi tuntutan-tuntutan jaman sekarang. Serta, membela kesenian-kesenian yang termasuk adalah kesenian identitas bangsa yang menghibur dan sehat. menggiatkan apresiasi anak muda terhadap bentuk seni tradisi. Mendekatkan kesenian-kesenian tersebut pada kehidupan, khususnya dalam ruang lingkup pendidikan dengan tidak mengajarkan secara teori saja, namun dilandasi dengan praktek yang nyata. Seperti dalam Randai semua orang yang memainkan musik haruslah orang yang berbakat karena merekalah yang akan memainkan talempong, gendang, serunai, saluang, puput batang padi, bansi, dan lainnya. Selain itu, keberhasilan sebuah randai juga ditentukan oleh tukang dendang.
Tukang dendang (penyanyi) yang tidak piawai, otomatis akan membuat
randai kehilangan darah, sebagus apapun cerita yang dibawakannya.Pemain ini akan memberi bobot dan pesan moral lewat kiasan yang ia sampaikan. Biasanya, randai memang sarat dengan pesan-pesan seperti itu. Jika hari ini kita menonton randai, maka hal itu, menurut sastrawan Yusrizal KW, merupakan hasil dari suatu proses akulturasi yang panjang
antara tradisi kesenian Minangkabau dengan bentuk-bentuk sandiwara
modern seperti tonil, yang mulai dikenal masyarakat Minangkabau sejak
awal abad ke-20. Dalam situasi dilematis, dibutuhkan upaya-upaya revitalisasi budaya-budaya dalam konteks perkembangan budaya global. Itu semua
harus didukung oleh pemikiran, filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif. Seperti pada Salah seorang dalang wayang golek yang kemudian berhasil meraih publik yang sebanyak-banyaknya adalah Asep Sunandar Sunarya dari Padepokan Wayang Golek Giriharja 3. Sukses yang diraih tidak

terbatas dikalangan masayarakat kebanyakan, namun mampu pula menerobos hotel-hotel berbintang bahkan ke tengah-tengah masyarakat akademis. Dan bukanlah mengada-ada kalau kehadiran Asep Sunandar Snarya akhirnya menjadi standar prestise seorang warga masyarakat atau kelompok, dalam arti seseorang dipandang terhormat dan mempunyai wibawa apabila dalam pesta perayaan hajatan mampu menghadirkan Asep Sunandar Sunarya ke tengah-tengah mereka. Sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, penampilan media tradisional ini juga telah bekerjasama atau berkolaborasi dengan media massa modern, baik media cetak, radio, televisi bahkan internet. Seperti penampilan Lenong, Wayang atau Ketoprak Humor di televisi dan radio serta kolom-kolom teater rakyat di surat kabar. Penampilan media tradisional di media modern ini juga bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan seni pertunjukan wayang. Bagi masyarakat jawa
INTINYA
Dewasa ini masyarakat Indonesia masih hidup dalam masa transisi. Di satu pihak masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, di lain pihak bersikap modern. Sulit bagi kita untuk bersikap sepihak secara konsekuen, karena kondisi lingkungan sering tidak memungkinkan. Maka dari itu upaya agar dalam perubahan dan “perkembangannya” tersebut bentuk kesenian itu tidak hilang dan berganti dengan yang baru. Tetap didukung dan dirasakan sebagai kebutuhan dari masyarakatnya. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman terhadap bentuk kesenian. Baik struktural maupun hubungan dengan masyarakatnya, mencari dan menentukan ciri-ciri dan faktor yang esensial dari padanya. Seperti dalam pertunjukan dapat digunakan sebagai media menyusun sistem nilai budaya Indonesia yang baru di dalam keseimbangan, artinya bersifat modern tapi tidak kehilangan kepribadian nasionalnya. Dan juga seperti Wayang Orang yang kita wajib membelanya karena Wayang Orang adalah seni kemasan yang sehat, menghibur sambil berusaha memasyarakatkan suatu bentuk kesenian klasik yang sangat sophisticated, jika diberi waktu maka wayang orang akan berkembang menjadi kitsch yang cukup tinggi mutunya.

-->
DAFTAR PUSTAKA
K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII, “Over de wayang koelit (purwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystike elementen”, dalam majalah Djawa, 1933, hal. 3.
Nasrul. 2007. “Membaca Minangkabau, Mengurai Problem” (online),
(http://mantagisme.blogspot.com diakses tanggal 25 November 2009)
Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (Ed.). 1991. Seni Dalam Maysarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
(http://www.cimbuak.net/content/view/511/5/ diakses tanggal 25 November 2009)
09 Oktober 2007. (http://www.kompas.com/kompascetak/0708/28/jogja/1041624.htm diakses tanggal 11 November 2009)
Susilo, Harry. 13 Januari 2009. “Ngesti Pandowo Bertahan Dalam Keterbatasan” . kompas.

Postingan populer dari blog ini

My Life As A Zucchini

Secangkir Kopi Cherry

Kimi No Na Wa